PENERBIT : UI PRESS
PENYUSUN: H. MOHAMMAD SAID (KORAN WASPADA)
Garis keturunan dari Sutan Koemala Boelan (Raja Panusunan Tamiang ke-10) :
No | Nama Keturunan Sutan Koemala Boelan (Raja Panusunan Tamiang Ke-10) |
1 | Dumasari Lubis. Dalam masa kemerdekaan tahun 1945, Dumasari Loebis aktif anggota Palang Merah Indonesia. |
2 | Parlagutan Lubis, gelar Raja Dolok Parlagutan. Pegawai PT. Pertamina Pangkalan Brandan. |
3 | Parluhutan Kumala Lubis. Seorang perjuangan tahun 1945, berpangkat Sersan Mayor kader Angkatan Darat, wafat di Ait Hitam, Sorolangun, Jambi dalam pertempuran melawan Belanda pada Perang Kemerdekaan ke-II dan memperoleh penghargaan berpangkat Letnan Dua Anumerta. Parluhutan Lubis dimakamkan kembali di Makam Pahlawan “Satria Bakti” di Kota Jambi. |
4 | Parlindungan Lubis SH, gelar Raja Dolok Parlindungan. Dalam masa kemerdekaan menjadi Tentera Pelajar dan Advokat di Jakarta. |
5 | Dra. Hajja. Gandisyah Lubis. Dalam masa kemerdekaan menjadi anggota Tentara Pelajar. |
6 | Dr. Martua Lubis, dengan gelar Raja Dolok Martua. · Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Padang Sidimpuan. · Pendiri, Pemimpin Akademi Perawat dan Kebidanan Flora. |
Awal tahun kebangkitan nasional (1908) di Sumatera ditanda’i dengan
kebangkitan pers dan media cetak. Di Padang terbit surat kabar “Perca
Barat,” sirkulasinya dalam beberapa tahun saja telah menjamah
masyarakat Manda’iling. Demikian juga surat kabar “Perca Timor” yang
disusul pula oleh “Pewarta Deli” di Medan, juga menyerbu pembacanya
ke seluruh Tapanuli. Bahkan di Padang Sidempuan dan Sibolga sendiri
terbit pula harian “Poestaha,” yang menyebar ke seluruh Tapanuli Selatan
dan Utara (lihat Sejarah Pers, M. Said 1976). Dunia pers dan percetakan
yang bangkit di Sumatera Utara, tidak hanya merupakan fenomena
bangkitnya kaum literasi generasi pertama seletah politik etis Belanda
diberlakukan, tetapi fenomena yang lebih utama adalah kemunculan
kelompok intelektual, merupakan bukti bangkitnya perlawanan rakyat
terhadap kolonialisme. Ironisnya gerakan ini dipimpin pula oleh kaum
cendekiawan hasil didikan (politik etis) Belanda pada permulaan abad
XX di Indonesia. Soetan Koemala Boelan setelah menamatkan
pendidikan Gouv. Inl. School di Muara Sipongi melanjutkan
pendidikannya ke sekolah Raja di Bukit Tinggi (Pleiding School Voor
Inl. Ambtenaren), yang dianggap sudah merupakan sekolah tertinggi
untuk pribumi pada masa itu. Setelah menamatkan pendidikan itu, beliau
diangkat sebagai pegawai tinggi di pemerintahan Belanda di Kutaradja.
Kemudian, ia dipindahkan sebagai “commies” pada kantor Keresidenan
Sumatera Timur di Kota Medan, sambil bekerja beliau meneruskan
pendidikannya di bidang notariat. Di kota inilah beliau bergulat di bidang
pers dan jurnalistik. Beliau selalu mendampingi Sutan Parlindungan
Pemimpin Redaksi “Pewarta Deli.” Ternyata, Soetan Koemala Boelan ini
sangat terobsesi dengan kisah Multatuli (Dewis Dekker), disamping itu
beliau terus mencermati perkembangan politik etis Van Deventer di
Negeri Belanda. Pergaulannya sesama wartawan dan bacaannya yang
cukup luas, menyebabkan tulisan-tulisannya tajam dan berbobot serta
menarik perhatian masyarakat.
Kekejaman kolonialisme merupakan topik utama yang
dibentangkan oleh para penulis, menjadi pemimpin masyarakat dalam
berkomunikasi dengan rakyat yang tertindas waktu itu. Mereka
menelanjangi kebobrokan pejabat-pejabat Belanda dan konco-konconya
kaum pribumi dalam memeras dan menindas rakyat miskin. Mereka
mendorong agar rakyat bangkit untuk melawan penindasan tersebut
dengan bersatu dan penuh kesadaran nasional. Para penulis
“independent” ini meyakinkan rakyat bahwa mereka memiliki hak penuh
atas harta dan masa depan tanah air mereka. Sebab itu pula, para
pengusaha dan pemerintah kolonial menerbitkan harian Belanda “De
Sumatera Post” di Medan, untuk membela dan menetralisir serangan pers
dan penulis terhadap pemerintah dan kepentingan dagang kolonial.
Gencarnya tulisan-tulisan yang mengecam dan mengungkapkan
kebobrokan pemerintah kolonial dalam surat-surat kabar, menurut H. M.
Said (1976) merupakan pencerminan sikap kehati-hatian para pemimpin
berkomunikasi dengan rakyatnya, karena sering sekali para pemimpin
ditangkapi ketika berbicara dan menggelar rapat-rapat terbuka dan
tertutup ketika itu.
Demikianlah, pada tahun 1912 tampil suara lantang dari seorang
penulis putra Manda’iling dengan nama samaran “Flora” dalam surat
kabar Pewarta Deli. Tulisan-tulisan tokoh ini dimuat di harian tersebut
dalam serial bersambung antara lain, dengan tajuk “Kerajaan
Mandolnati.” Isinya mencerca dengan sangat tajam penguasa “kerajaan”
tersebut (Said, 1965:1). Flora membeberkan fakta-fakta kekejaman
Belanda dalam sistem kerja rodi (kerja paksa) dan pemungutan pajak
yang sangat mencekek kehidupan rakyat. Orang Manda’iling tidak
berdaya, sehingga sebahagian besar mereka yang tidak mampu lagi
bertahan, meninggalkan kampung halamannya di Manda’iling dan hijrah
ke Sumatera Timur atau ke Malaysia.
Disamping itu, “Flora” mengungkapkan secara terus terang
sistem penjilatan dan permainan kotor para pembesar tokoh-tokoh
pribumi untuk mendapat kenaikan pangkat dan jabatan. Sementara itu,
nasib para Kepala Kampung dan Kuria (kepala dari beberapa kampung
yang dianggap masih dalam satu kesatuan masyarakat adat, seperti
Nagari di Minangkabau), tiba-tiba dapat dihukum dan dipecat karena
terlambat mengerahkan orang untuk rodi (kerja paksa) dan atau tidak
dapat menyetor dalam jumlah uang yang ditetapkan dalam pemungutan
pajak. Gugatan pena “Flora” dalam Pewarta Deli ini, tidak hanya
membangkitkan perlawanan rakyat di pedesaan Manda’iling dan
Tapanuli Selatan, tetapi telah menarik perhatian seorang tokoh “Raad
Van Indie” (sebuah Dewan tertinggi disamping Gubernur Jenderal
Belanda sendiri), bernama J. H. Liefrinck, untuk mengecek langsung apa
sebenarnya yang terjadi di Tapanuli Selatan. Anehnya, hal yang
mengagumkan masyarakat pembaca “Pewarta Deli,” bahwa laporan tanya
jawab dan hasil kunjungan Liefrinck ditulis secara rinci dan gamblang
oleh penulis Flora dalam tulisan bersambung di surat kabar “Pewarta
Deli” tersebut, sehingga orang bertanya-tanya, siapa sebenarnya “Flora”
tersebut. Di bawah ini adalah cuplikan laporan perjalanan J. H. Liefrinck
itu:
“Setelah j.m. Tuan Liefrinck sampai di Laru, beliau turun lagi dari autonya,
karena disana telah pula menanti 100 orang Pasar Laru dan Laru Lombang,
buat menerangkan perasaan mereka, yakni dari sebab kampong, rumah,
pekarangan, kebon dan tanam-tanaman mereka yang sudah dirusak oleh
BOW (dinas PU) buat dijadikan jalan raya, sedang kerugian mereka tidak
diganti menurut patutnya...”(Said, nd:162)
“... j.m. sampai di Siabu, beliau turun dari autonya sekali lagi, karena disana
ada 200 orang perempuan yang akan menerangkan perasaannya, ... bahwa
mereka sudah ada tiga tahun kekurangan makan, disebabkan hasil sawah
selalu rusak, kerusakan ini tidak lain sebab rodi, karena itu lah mereka tidak
dapat membantu mereka buat menguruskan pekerjaan sawah ...!” mereka
sekarang makan umbut, jagung ubi dan pisang.” Perempuan-perempuan
Manda’iling itu menuntut agar mereka dibebaskan satu tahun tidak memikul
rodi...” (Said nd : 162-163)
Laporan perjalanan Liefrinck bulan Februari 1917 dimuat oleh
Flora dalam harian “Pewarta Deli” dengan judul “Sengsara Rakyat dan
Lakunya Bestuur di Manda’iling, Disiasati oleh SPJM Toean J. H.
Liefrinck,” pada bulan April 1917 dalam rubrik serial bersambung.
Pemerintah kolonial Belanda mensiasati laporan Flora ini dengan teliti,
karena disamping laporan jurnalistik, ternyata dibubuhi dengan analisa
dan pendapat kritis penulis yang menghina pemerintah, walaupun dalam
bentuk sindiran gaya metaforis. Memang, sejak permulaan tahun 1916
sampai awal tahun 1917, pergolakan di Tapanuli Utara, terutama di Barus
dan kemudian merambat ke dataran tinggi Toba mengakibatkan seorang
kontrolir Belanda W. C. M. Muller, tewas terbunuh. Pertempuran terjadi
di Rae ni Ate Barat (Samosir) antara pasukan Belanda dengan sejumlah
200 orang penduduk yang mengakibatkan korban di kedua belah pihak.
Pergolakan dan keresahan itu menjalar ke Tapanuli Selatan karena rakyat
menolak rodi dan pajak yang dianggap telah diluar batas kemanusiaan.
Pemerintah Belanda ingin secepatnya menangkap basah “Flora”
yang kemudian diketahui adalah Kuria Tamiang yang bernama Soetan
Koemala Boelan, yang seharusnya menjalankan sumpah setianya kepada
pemerintah kolonial. Tetapi gaya sindiran yang metaforis tadi tidak
mampu menyeret penulis itu ke dalam delik pidana (pasal 153 bis Hukum
Pidana Hindia Belanda) dengan ancaman hukuman penjara dan
pembuangan. Sebagai contoh “Flora” membentangkan pendapatnya
mengenai hubungan antara rakyat dan pemerintah Belanda seperti “... hati
seekor anjing kepada tuannya... orang yang berbudi tentu bersedih hati
melihat anjing duduk di bawah meja, melihat tuannya enak-enak makan
daging rusa, sedang si anjing harus menungu tulang sisa yang
dilemparkan oleh jongos tuan....” kemudian Flora menukas “ ... siapa
yang lembek dan lemah dialah yang menjadi keuntungan orang lain, dan
ialah yang menjadi perkakas dalam mendapatkan keuntungan bagi
manusia yang mau keras berpikir ...”. Akhirnya tulisan-tulisan Flora
dalam Pewarta Deli semakin tajam, dia tidak beranda’i-anda’i lagi
dengan gaya metaforis, terutama dalam menghadapi dan
mengungkapkan, terutama, masalah rodi yang disebutnya sebagai sistem
“penghambaan” dibawah “algojo BOW” dan kedua, masalah kesehatan
rakyat. Penyakit malaria yang mematikan di Manda’iling berkecambah,
di beberapa luhak terdapat 90% penduduk dihinggapi malaria, sementara
satu-satunya dokter di Manda’iling dipindahkan pula oleh pemerintah ke
daerah lain, sehingga “Flora” menuduh pemerintah Belanda membiarkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam Sejahtera, Assalamualaikum: